Batang Tuaka Berdarah Hijau: Mafia Kayu Renggut Hutan, Negara Merugi Ratusan Miliar

MediaSuaraMabes, Kab. Indragiri Hilir – Selama lebih dari lima belas tahun, Kecamatan Batang Tuaka, Kabupaten Indragiri Hilir, seolah menjadi panggung gelap bagi mafia kayu. Ribuan gelondongan terus mengalir tanpa kendali, menguap begitu saja dari hutan-hutan rakyat. Tak hanya merampas sumber daya alam, praktik ini menorehkan luka besar berupa kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp90 hingga Rp135 miliar dalam kurun waktu satu setengah dekade, belum termasuk kerusakan ekologis yang tak ternilai.

Di kawasan Parit Lanjer, tepatnya di belakang SDN 020, pernah terungkap kasus mencengangkan: 3.000 gelondongan kayu dibiarkan menumpuk tanpa proses hukum yang jelas. Bila dihitung dengan harga pasar Rp2–3 juta per batang, nilai kayu tersebut mencapai Rp6–9 miliar hanya dalam satu kejadian. Dan bila praktik semacam ini berlangsung setiap tahun, maka negara dipaksa menanggung kehilangan yang sangat besar.

Perhitungan kasar menunjukkan, jika transaksi ilegal itu terjadi rutin selama 15 tahun, nilai pasar kayu yang hilang berkisar Rp90–135 miliar. Dari sisi penerimaan negara, potensi pendapatan dari pajak, PNBP, maupun pungutan lain yang seharusnya masuk kas negara lenyap antara Rp9–27 miliar. Angka ini menggambarkan bagaimana mafia kayu bukan sekadar pelanggar hukum, melainkan perampok pendapatan negara.

Lebih mengerikan lagi, kerugian tersebut belum memasukkan biaya ekologis. Setiap batang pohon yang ditebang secara ilegal berarti hilangnya penyangga air, penyimpan karbon, dan rumah bagi keanekaragaman hayati. Dampaknya bukan hanya menimpa Batang Tuaka, tetapi juga masyarakat luas melalui banjir, tanah longsor, dan perubahan iklim.

Dari aspek hukum, praktik ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang telah diperbarui dalam Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Pasal-pasalnya dengan tegas menyebutkan bahwa pengambilan, pengangkutan, hingga penjualan hasil hutan tanpa izin sah merupakan tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi berat, baik pidana penjara maupun denda.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga masih berlaku dan memperkuat kewajiban negara dalam melindungi hutan dari perusakan. Dengan dasar hukum yang jelas, tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk menutup mata atau membiarkan mafia kayu terus beroperasi. Setiap kelalaian sama saja dengan pengkhianatan terhadap amanat undang-undang.

Masyarakat Batang Tuaka sudah terlalu lama menjadi saksi bisu dari kejahatan lingkungan yang terus merajalela. Sementara itu, suara-suara kritis kerap dibungkam, dan proses hukum berjalan lamban. Situasi ini melahirkan pertanyaan besar: siapa sesungguhnya yang diuntungkan, dan siapa yang melindungi para pelaku?

Kini saatnya pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga terkait bertindak tegas. Mafia kayu tidak hanya merusak hutan, tetapi juga menggerogoti ekonomi negara dan mengancam masa depan lingkungan. Jika dibiarkan, Batang Tuaka bukan lagi sekadar saksi kehancuran hutan, melainkan simbol kegagalan negara dalam menjaga kekayaan alamnya.

Dum 0791

Related posts