Kejari Aceh Timur Mengkriminalisasi Budi Hermawan?

MediaSuaraMabes, Banda Aceh – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Gudang Arsip UPTD Aceh Timur dengan terdakwa Budi Hermawan bin Sudirman kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Banda Aceh, Kamis (18/9/2025). Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan nota keberatan (eksepsi) dari tim penasihat hukum terdakwa, yang secara terbuka menuding Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Aceh Timur telah melakukan kriminalisasi terang-terangan terhadap klien mereka.

Perkara ini teregister dengan Nomor 44/Pid.Sus-TPK/2025/PN Bna, berdasarkan Surat Dakwaan Nomor Reg. PDS-04/L.1.22/Ft.1/07/2025. Persidangan dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai Jamaluddin, S.H., M.H., dengan hakim anggota R. Deddy Harryanto, S.H., M.Hum. dan Anda Ariansyah, S.H., M.H.

Dari pihak penuntut, tiga jaksa duduk sebagai JPU: Akbar Priamadhiana, S.H., Wahyudi, S.H., dan Andre Pratama, S.H., seluruhnya berasal dari Kejari Aceh Timur. Sedangkan dari pihak terdakwa, Budi Hermawan menunjuk Iqbal Maulana, S.H., M.H. dan Rudi Syahputra, S.H. dari Kantor Hukum IM & Partners.

Eksepsi: Dakwaan Kabur, Kontradiktif, dan Rekayasa Sistematis

Dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, Iqbal Maulana secara gamblang menyebut surat dakwaan JPU kabur, penuh kontradiksi, cacat prosedural, dan salah sasaran. Bahkan lebih jauh, ia menuding ada rekayasa sistematis untuk menjadikan Budi Hermawan — seorang PPTK dengan kewenangan administratif terbatas — sebagai “kambing hitam administratif”, sementara aktor utama yang memiliki kewenangan kontraktual dan otorisasi anggaran justru dibiarkan lolos, yakni:

• Syahrial Faujar, ST., MT. selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), yang menandatangani kontrak, addendum, Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM), serta mengeluarkan Surat Pemblokiran Rekening ke Bank Aceh Syariah agar dana tidak bisa dicairkan oleh penyedia.

• Arif Munandar, S.Tr.T. selaku Konsultan Pengawas (CV. Rapido Meugah Karya), yang secara resmi menyatakan pekerjaan selesai 100% dalam laporannya, meskipun fakta lapangan hanya menunjukkan progres 79,86%.

Menurut kuasa hukum, dakwaan ini jelas diarahkan untuk menyingkirkan aktor sebenarnya dengan menjadikan PPTK sebagai korban kriminalisasi. Entah apa motif dan kepentingannya, JPU berusaha memisahkan peran KPA dan Konsultan Pengawas dari lingkaran pertanggungjawaban hukum. Cara demikian bukan saja diskriminatif, tetapi juga menyimpang dari asas equality before the law (Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), serta bertolak belakang dengan prinsip due process of law sebagaimana dijamin KUHAP dan ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.

PELANGGARAN HAK KONSTITUSIONAL TERDAKWA

Masih dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan Majelis Hakim, Iqbal Maulana, S.H., M.H. menyoroti bagaimana sejak awal proses hukum, Jaksa Penuntut Umum Kejari Aceh Timur telah melanggar hak konstitusional Budi Hermawan.

Ia memaparkan bahwa penetapan tersangka sekaligus penahanan pada 23 April 2025 dilakukan tanpa kehadiran penasihat hukum, padahal perkara ini berancam pidana di atas 5 tahun.

“Ini jelas pelanggaran serius terhadap hak asasi dan hak konstitusional terdakwa. KUHAP mewajibkan adanya pendampingan hukum, tapi JPU justru sengaja menyingkirkan peran penasihat hukum sejak awal,” tegas Iqbal di hadapan majelis hakim.

Dalam argumennya, Iqbal menyebut sejumlah dasar hukum yang dilanggar:

• Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 → setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
• Pasal 54 KUHAP → tersangka/terdakwa berhak memperoleh bantuan hukum.
• Pasal 56 ayat (1) KUHAP → dalam perkara ancaman pidana di atas 5 tahun, penunjukan penasihat hukum bersifat wajib.
• Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 → hak atas bantuan hukum berlaku sejak awal penyidikan, termasuk saat penetapan tersangka dan penahanan.

Lebih jauh, Iqbal menegaskan bahwa keberadaan penasihat hukum Budi Hermawan sudah sah dibuktikan melalui Surat Kuasa Khusus No. 03/SKK-KHUSUS/BUDI-HERMAWAN/V/2025 tertanggal 5 Mei 2025. Bahkan, tim kuasa hukum juga telah mendaftarkan praperadilan pada 7 Mei 2025 terhadap Kejari Aceh Timur.

“Dengan fakta ini, tidak mungkin JPU tidak tahu klien kami punya kuasa hukum. Justru sengaja diabaikan. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan rekayasa untuk membungkam hak-hak konstitusional terdakwa,” tegasnya.

KEBERATAN ATAS DAKWAAN YANG CACAT FORMIL

Due Process of Law & Wewenang Penahanan

Dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, Iqbal Maulana, S.H., M.H. menguraikan bahwa riwayat penahanan terdakwa Budi Hermawan sarat cacat hukum. Catatan penahanan versi Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri justru membuka borok pelanggaran serius:

1. 23 April – 12 Mei 2025 (20 hari)

Ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-05/L.1.22/Fd.2/04/2025 oleh Penyidik Kejaksaan Negeri Aceh Timur di Rutan Idi.

→ Penahanan ini sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) KUHAP yang memberi kewenangan penyidik menahan paling lama 20 hari.

2. 13 Mei – 21 Juni 2025 (40 hari)

Diperpanjang berdasarkan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor: Print-124/L.1.22/Fd.2/05/2025 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Timur.

→ Sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memperpanjang penahanan selama 40 hari.

3. 22 Juni – 21 Juli 2025 (30 hari)

Diperpanjang berdasarkan Penetapan No.: 94/Pen.Pid/2025/PN Idi oleh Ketua PN Idi.

→ Sesuai Pasal 26 ayat (1) KUHAP, Ketua PN berwenang memperpanjang penahanan untuk 30 hari.

4. 21 Juli – 9 Agustus 2025 (20 hari)

Dinyatakan ditahan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Aceh Timur di Rutan Idi.

→ Cacat hukum , karena KUHAP tidak mengenal perpanjangan 20 hari oleh Penuntut Umum setelah tahap PN. Seharusnya kewenangan beralih ke Kejaksaan Tinggi (vide Pasal 29 ayat (1) KUHAP).

5. 10 Agustus – 8 September 2025 (30 hari)

Diperpanjang kembali oleh Ketua PN Idi.

→ Keliru , karena setelah tahap PN (30 hari), perpanjangan hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi. Tidak ada dasar hukum bagi PN untuk kembali memperpanjang.

Pada tahap 4 dan 5 adalah unlawful detention. Artinya, sejak 21 Juli hingga 8 September 2025, terdakwa ditahan tanpa dasar hukum yang sah — sebuah pelanggaran telanjang terhadap Pasal 28D (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil.

Rekayasa Penahanan & Advokat “Bayangan”

Lebih jauh, eksepsi membeberkan praktik manipulatif JPU. Pada periode perpanjangan cacat (21 Juli – 9 Agustus 2025), jaksa menanyakan kepada terdakwa apakah memiliki kuasa hukum. Padahal, keberadaan kuasa hukum sudah sah sejak 5 Mei 2025 (SKK No. 03/SKK-KHUSUS/BUDI-HERMAWAN/V/2025) dan bahkan sudah mengajukan praperadilan 7 Mei 2025.

Namun JPU tetap bertanya seolah tidak tahu, lalu memberi waktu “2 jam” agar penasihat hukum dari Banda Aceh hadir di Idi (jarak 7 jam perjalanan!). Karena mustahil, JPU kemudian menghadirkan seorang advokat perempuan yang sama sekali tidak dikenal terdakwa — dijadikan seolah “penasihat hukum” dadakan.

Bagi kuasa hukum, inilah bukti rekayasa paling vulgar: JPU menciptakan advokat bayangan untuk memalsukan pemenuhan hak fundamental. Praktik ini melanggar:

• Pasal 54 & 56 KUHAP,
• Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015,
• Pasal 28D (1) UUD 1945 jo. Pasal 9 (3) ICCPR.

“Ini bukan maladministrasi biasa, tapi kebohongan yang disengaja,” tegas Iqbal.

Status Abu-Abu Hukum & Cacat Wewenang

Drama makin telanjang ketika perkara atas nama Budi Hermawan dilimpahkan ke PN Banda Aceh pada 22 Agustus 2025 melalui Surat Pelimpahan Nomor: B-3496/L.2/Ft.1/08/2025. Hanya berselang tiga hari, tepatnya 25 Agustus 2025, perkara itu resmi teregister dengan Nomor: 44/Pid.Sus-TPK/2025/PN Bna, lengkap dengan penetapan Majelis Hakim, Panitera Pengganti, hingga jadwal sidang perdana pada 4 September 2025.

Dalam eksepsi, tim kuasa hukum menegaskan bahwa sejak tanggal itu, secara hukum kewenangan penahanan beralih penuh ke Ketua PN Banda Aceh, sebagaimana ditegaskan:

• Pasal 23 ayat (1) KUHAP: penahanan terdakwa dilakukan di rutan wilayah pengadilan;
• Pasal 20 PP No. 27/1983: setelah pelimpahan, kewenangan penahanan beralih ke PN.

Namun di balik formalitas administrasi yang rapi di atas kertas, fakta di lapangan justru membeberkan kejanggalan besar: secara de jure Budi sudah jadi tahanan PN Banda Aceh sejak 25 Agustus, tetapi secara de facto ia masih dibui di Lapas Idi, Aceh Timur, hingga 3 September 2025, dan baru diserahkan ke JPU lewat Berita Acara No. W1.PAS.1.PK.01.01-697.

Artinya, ada jeda 8 hari penuh (25 Agustus–3 September 2025) di mana Budi Hermawan terjebak dalam “penahanan abu-abu hukum” — penahanan tanpa dasar kewenangan sah.

• Secara hukum, JPU sudah tidak berwenang.
• Secara faktual, PN Banda Aceh belum mengambil alih.

Kuasa hukum menilai penahanan ini bukan sekadar salah administrasi, melainkan kesengajaan JPU. Jaksa sadar betul kewenangannya sudah berakhir, namun tetap menahan terdakwa demi melanggengkan dakwaan yang sejak awal cacat hukum. Praktik ini, kata mereka, adalah bentuk abuse of power sekaligus bukti nyata kriminalisasi — menjadikan PPTK sebagai tumbal administratif, sementara aktor utama yang menandatangani kontrak, addendum, SPTJM, dan rekomendasi teknis justru dibiarkan bebas tanpa sentuhan hukum.

“Dengan kondisi penahanan abu-abu ini, kredibilitas JPU runtuh total. Semua produk dakwaan yang lahir darinya otomatis tidak layak dipercaya dan harus dinyatakan tidak sah,” tegas tim pembela di ruang sidang.

Pelimpahan Tidak Sah & Perbuatan Curang

Drama berlanjut pada tahap pelimpahan perkara. 22 Agustus 2025, JPU Kejari Aceh Timur melimpahkan perkara Budi Hermawan ke PN Banda Aceh lewat Surat Pelimpahan No. B-3496/L.2/Ft.1/08/2025. Tiga hari kemudian, 25 Agustus 2025, perkara resmi teregister dengan Nomor 44/Pid.Sus-TPK/2025/PN Bna, lengkap dengan majelis hakim, panitera pengganti, dan jadwal sidang perdana.

Namun, ada fakta yang disembunyikan: Budi masih mendekam di Lapas Idi (Aceh Timur) sampai 3 September 2025. Artinya, PN Banda Aceh menerima pelimpahan dalam keadaan cacat hukum, karena secara de jure Budi sudah jadi tahanan PN, tapi secara de facto masih di bawah kendali JPU.

Lebih parah lagi, meski JPU tahu jelas keberadaan kuasa hukum Budi sejak 5 Mei 2025 (SKK No. 03/SKK-KHUSUS/BUDI-HERMAWAN/V/2025), mereka tetap menyembunyikan fakta itu dari PN Banda Aceh saat pelimpahan. Kuasa hukum tidak pernah diberitahu, tidak dilibatkan, dan ruang pembelaan pun sengaja ditutup.

Kuasa hukum menyebut cara ini bukan sekadar lalai, melainkan perbuatan curang:

• JPU memberi kesan palsu bahwa terdakwa “siap diadili”, padahal masih ditahan ilegal;
• JPU menutup akses kuasa hukum meski hukumnya wajib (Pasal 54 & 56 KUHAP, Putusan MK 130/PUU-XIII/2015);
• JPU sengaja merekayasa administrasi untuk melanggengkan dakwaan cacat hukum.

“Ini jelas bad faith. Jaksa bukan hanya melanggar hukum, tapi sudah berbohong di hadapan pengadilan. Bagaimana mungkin dakwaan lahir dari proses curang semacam ini bisa dipercaya?” tegas tim pembela.

Akibat Hukum

Tim kuasa hukum menegaskan, apa yang terjadi antara 25 Agustus hingga 3 September 2025 adalah bentuk penahanan sewenang-wenang (unlawful detention). Pada periode itu, secara hukum Budi sudah menjadi tahanan PN Banda Aceh, namun secara faktual ia masih dikurung di Lapas Idi di bawah kendali JPU Kejari Aceh Timur yang tidak lagi punya kewenangan menahan.

Konsekuensinya fatal:

a. Penahanan delapan hari penuh itu tidak sah karena dilakukan tanpa dasar kewenangan yang sah.
b. Seluruh tindakan hukum dalam periode cacat wewenang tersebut—termasuk administrasi pelimpahan dan penyusunan surat dakwaan—kehilangan legitimasi.
c. Dengan sendirinya, surat dakwaan yang lahir dari proses penahanan tidak sah harus dinyatakan batal demi hukum (null and void), atau setidak-tidaknya niet ontvankelijk verklaard (tidak dapat diterima).

Kuasa hukum menuding, maladministrasi ini bukan kebetulan. “JPU sadar betul kewenangannya sudah habis sejak 25 Agustus, tapi mereka tetap menahan klien kami demi melanggengkan dakwaan yang cacat hukum,” ujar Iqbal Maulana dalam eksepsi.

Menurutnya, tindakan JPU ini melahirkan kondisi “penahanan abu-abu”, sebuah praktik yang bukan saja mencoreng asas due process of law, tapi juga melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil.

“Fakta fundamental ini menjadi dasar utama bahwa dakwaan JPU tidak sah. Kalau kredibilitasnya sudah runtuh sejak di tahap penahanan, maka seluruh produk dakwaan otomatis tidak layak dipercaya,” tegas tim pembela di hadapan majelis hakim.

KEBERATAN ATAS DAKWAAN YANG KABUR & TIDAK CERMAT

• Kontradiksi Data SK PPTK

Dalam eksepsi, tim kuasa hukum menyoroti kontradiksi fatal dalam surat dakwaan JPU terkait dasar hukum penunjukan Budi Hermawan sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).

Kutipan dakwaan yang bertentangan:
• Hal. 1 Dakwaan: Budi disebut PPTK berdasarkan SK 402/KPTS/PERKIM/2022 tanggal 10 Mei 2022.
• Hal. 4 Dakwaan: Budi disebut telah ditunjuk sebagai PPTK sejak 1 Februari 2021, tetapi tetap dengan dasar SK 402/2022 yang baru terbit setahun kemudian.

1. Benturan Kronologis (Temporal Impossibility)
Logika administrasi runtuh: bagaimana mungkin seseorang ditunjuk pada Februari 2021 dengan dasar SK yang baru ada Mei 2022? Ini bukan salah ketik remeh, tapi rekayasa kronologi yang sengaja menimbulkan kesan seolah Budi sudah lama mengemban tanggung jawab penuh.

2. Pengaburan Dasar Kewenangan (SK 75/2022 Diabaikan)
Fakta sebenarnya: Budi sudah sah ditunjuk sebagai PPTK melalui SK 75/KPTS/PERKIM/2022 tanggal 26 Januari 2022, dengan cakupan Wilayah V (Banda Aceh, Bireuen, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang).

Namun, JPU hanya mengunci narasi pada SK 402/2022 tanpa menjelaskan apakah SK tersebut mengubah, menegaskan, atau sekadar pelengkap dari SK 75/2022. Akibatnya, dasar kewenangan jadi kabur.

3. Dampak Material terhadap Unsur Delik & Pembelaan
o Tempus delicti: kapan tepatnya Budi mulai berwenang dalam proyek Gudang Arsip?
o Ruang lingkup: apakah ia bertindak sebagai PPTK Wilayah (umum) atau PPTK khusus proyek?
o Batas wewenang: normatifnya, PPTK hanya pejabat administratif (vide Perpres 12/2021 jo. Permendagri 77/2020), bukan pemegang otorisasi kontraktual atau keuangan.

Kaburnya dasar SK berpotensi menjerumuskan ke error in persona, yakni membebankan tanggung jawab pidana pada pihak yang salah.

4. Konsekuensi Yuridis Menurut KUHAP
Kontradiksi tanggal dan dasar SK menimbulkan ketidakpastian subjek dan kewenangan. Surat dakwaan menjadi tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sebagaimana standar Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Akibatnya, sesuai Pasal 143 ayat (3) KUHAP, dakwaan JPU patut dinyatakan batal demi hukum.

• Tempus Delicti & Locus Delicti Kabur

Dalam halaman awal surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menulis dengan kalimat bertele-tele:

“… pada waktu dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi pada waktu antara bulan November 2022 sampai dengan bulan Desember 2022 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu dalam tahun 2022 bertempat di Kantor Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi Aceh dan/atau bertempat di Gudang UPTD Aceh Timur Jalan Banda Aceh – Medan Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh …”

Formulasi seperti ini, kata kuasa hukum, adalah bukti nyata bahwa dakwaan disusun asal jadi:

1. Tempus delicti kabur.
Alih-alih menyebut tanggal dan hari kejadian, JPU hanya menulis “antara November–Desember 2022 atau setidak-tidaknya suatu waktu dalam tahun 2022.” Dakwaan yang bahkan tidak tahu kapan peristiwa terjadi jelas melanggar syarat Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

2. Locus delicti tidak jelas.
JPU menulis “Kantor Dinas Perkim Aceh dan/atau Gudang UPTD Aceh Timur dan/atau tempat lain…”. Rumusan “dan/atau” ini membuat lokasi kejadian jadi serba mungkin. Padahal locus delicti penting untuk memastikan kompetensi relatif pengadilan dan menentukan konteks perbuatan pidana.

3. Prinsip kepastian hukum dilanggar.
Dengan formulasi kabur semacam ini, terdakwa dipaksa menghadapi dakwaan spekulatif tanpa pegangan jelas. Itu artinya asas due process of law dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil diinjak-injak.

Yurisprudensi sudah tegas:
Putusan MA No. 675 K/Pid/1983 menyatakan, surat dakwaan yang tidak jelas terkait waktu dan tempat harus batal demi hukum.

Artinya, dakwaan JPU terhadap Budi Hermawan bukan instrumen hukum yang sah, melainkan spekulasi murahan. Ketidakjelasan ini justru menunjukkan JPU sendiri ragu atas konstruksi perkaranya, namun tetap memaksakan proses demi melanggengkan kriminalisasi.

Dengan demikian, dakwaan yang tidak jelas tentang kapan dan di mana perbuatan terjadi tidak memenuhi syarat formil Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, dan karenanya harus dinyatakan batal demi hukum.

• Dakwaan JPU Dinilai Kabur, Salah Sasaran, dan Rekayasa

Dalam eksepsi, tim penasihat hukum menegaskan bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sarat kelemahan formil dan substansi. Poin-poin yang mereka angkat antara lain:

• Peran Terdakwa Tidak Jelas: Dakwaan hanya memakai rumusan karet Pasal 55 KUHP (“melakukan, menyuruh, atau turut serta”) tanpa menjelaskan perbuatan konkrit Budi Hermawan. Akibatnya, posisi hukum terdakwa jadi menggantung — apakah pelaku utama, penyuruh, atau peserta.

• Logika Pembayaran Menyesatkan: JPU membangun narasi seolah PPTK menyetujui pembayaran penuh 100%. Padahal, menurut regulasi keuangan negara, otorisasi ada pada Arif Munandar, S.Tr.T. (Konsultan Pengawas CV. Rapido Meugah Karya yang menyatakan pekerjaan selesai 100%) dan Syahrial Faujar, ST., MT. (KPA yang menandatangani SPTJM), bukan pada PPTK.

• SPP-LS Dipelintir: Tanda tangan PPTK di dokumen SPP-LS hanyalah administratif, bukan bukti otorisasi pencairan. Menjadikannya sebagai dasar dakwaan disebut sebagai “ilusi hukum” yang sengaja dipaksakan.

• Salah Tafsir Fungsi PPTK: JPU mencomot pasal-pasal dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan, Perpres 12/2021, dan Permendagri 77/2020 untuk membebankan kewajiban ke PPTK. Padahal, norma-norma itu justru membatasi PPTK hanya pada fungsi administratif, bukan pengendali kontrak atau keuangan.

Kuasa hukum menyimpulkan, semua konstruksi dakwaan ini bukan hanya kabur (obscuur libel) dan salah subjek hukum (error in persona), tapi juga bertentangan dengan bukti otentik. Faktanya, progres proyek baru 79,86%, dana Rp881 juta diblokir KPA sendiri, dan dokumen krusial ditandatangani oleh Syahrial Faujar (KPA) dan Arif Munandar (Konsultan Pengawas), bukan oleh PPTK.

“Kalau peran yang seharusnya dipegang KPA dan Konsultan Pengawas dialihkan ke PPTK, itu jelas rekayasa hukum. Dakwaan seperti ini tidak layak dipertahankan dan harus dinyatakan batal demi hukum,” tegas tim pembela di persidangan.

• Laporan Hasil Audit Inspektorat Kabupaten Aceh Timur, 30 Desember 2024, Alat Pengabur, Bukan Pengungkap

aksa Penuntut Umum (JPU) mencoba menopang dakwaannya dengan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah yang disusun Inspektorat Kabupaten Aceh Timur tertanggal 30 Desember 2024, Nomor: 021/ITDAKAB–LHAPKKN/2024. Dalam laporan itu, nilai kerugian dihitung sebesar Rp298.419.319,46.

Namun, tim pembela menilai laporan ini tidak relevan dan menyesatkan. Sebab, fakta hukum yang terungkap di persidangan justru menunjuk pada peristiwa 26 Desember 2022, ketika KPA Syahrial Faujar, ST., MT. mencairkan 100% dana kontrak kepada penyedia CV Rahmat Kontruksi, padahal progres pekerjaan baru mencapai 79,86%.

Akibat pencairan prematur ini, potensi kerugian negara bukan Rp298 juta sebagaimana diklaim Inspektorat, melainkan Rp881.104.000. Jumlah ini bahkan diakui sendiri oleh KPA melalui Surat Permohonan Pemblokiran Rekening Nomor: 602/TB/PERKIM/2022 tertanggal 26 Desember 2022, yang ditujukan kepada Bank Aceh Syariah agar dana sebesar Rp881 juta dibekukan sementara di rekening CV Rahmat Kontruksi.

Dengan demikian, angka kerugian yang semestinya dipakai adalah Rp881 juta versi bukti otentik, bukan Rp298 juta versi audit Inspektorat. Alih-alih menjadi instrumen pengungkapan kebenaran, laporan Inspektorat justru dipakai sebagai alat pengabur untuk mengecilkan skala kerugian dan menutupi peran aktor utama yang seharusnya bertanggung jawab secara pidana.

Fakta Kunci yang Membantah Audit:

• Surat Pernyataan CV Rahmat Kontruksi, 26 Desember 2022
Ditandatangani oleh Ir. Mahdi Amin, yang menegaskan pekerjaan belum selesai dan baru akan tuntas pada 26 Januari 2023.
• Laporan Konsultan Pengawas No. 13/PGWSN-AT/RMK/XII/2022, 25 Desember 2022
Menyebut progres fisik baru 79,86%, bukan 100% sebagaimana dinarasikan JPU.
• Surat Pemblokiran Rekening, 26 Desember 2022
Ditandatangani Syahrial Faujar selaku KPA, meminta Bank Aceh Syariah memblokir Rp881.104.000 di rekening CV Rahmat Kontruksi.

➝ Fakta ini menegaskan bahwa dana memang telah dicairkan penuh, tetapi sebagian dibekukan atas perintah KPA, bukan karena kewenangan PPTK.

Motif Pengaburan

Audit Inspektorat hadir bukan untuk mengungkap, melainkan untuk mengecilkan angka kerugian dan mengalihkan sorotan hukum:

• Jika angka Rp881 juta dipakai, maka terang-benderang Syahrial Faujar (KPA) dan Arif Munandar (Konsultan Pengawas) yang harus bertanggung jawab pidana.
• Dengan angka Rp298 juta, JPU bisa “menempelkan” kerugian pada peran administratif PPTK, menjadikannya tumbal, sementara aktor utama lolos dari jeratan hukum.

Audit ini jelas bukan mencari kebenaran, tapi mencari cara untuk menumbalkan PPTK.

KEBERATAN ATAS ERROR IN PERSONA (SALAH SUBJEK HUKUM)

Dalam eksepsi, tim penasihat hukum menegaskan bahwa Budi Hermawan ditetapkan sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) berdasarkan SK Kepala Dinas Perkim Aceh Nomor: 75/KPTS/PERKIM/2022 tanggal 26 Januari 2022 yang ditandatangani Plt. Kadis Ir. T. Mirzuan, MT. SK tersebut hanya menugaskan Budi sebagai PPTK Wilayah V (Banda Aceh, Bireuen, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang).

Dengan demikian, kedudukan hukum PPTK terbatas — sekadar pejabat administratif, bukan pejabat kontraktual, apalagi pemegang otorisasi anggaran.

Batasan Wewenang PPTK Menurut Hukum Positif

1. Perpres 12/2021 jo. Perpres 16/2018 Pasal 1 angka 10a
PPTK adalah pejabat SKPD yang hanya melaksanakan kegiatan sesuai bidang tugasnya.

2. Perpres 12/2021 Pasal 8
Pelaku pengadaan dibatasi pada PA, KPA, PPK, Pokja, Pejabat Pengadaan, Agen, Penyelenggara
Swakelola, dan Penyedia.

PPTK tidak termasuk pelaku pengadaan.

3. Permendagri 77/2020 Pasal 11 ayat (2)
PPTK hanya menyusun dokumen kegiatan, mencatat progres, dan membuat laporan berdasarkan dokumen yang telah disahkan PA/KPA.

➝ PPTK tidak berwenang menandatangani kontrak, addendum, BASTP, menyatakan pekerjaan selesai, mengatur pencairan, atau mengaudit mutu konstruksi.

Siapa yang Sebenarnya Bertanggung Jawab?

• Syahrial Faujar, ST., MT. → Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang menandatangani kontrak, addendum, BASTP, SPTJM, bahkan surat pemblokiran rekening.
• Arif Munandar, S.Tr.T. → Konsultan Pengawas (CV Rapido Meugah Karya) yang menyatakan pekerjaan selesai 100% meskipun faktanya progres baru 79,86%.

Tim pembela menegaskan: posisi Budi Hermawan hanyalah pejabat administratif. Menjadikannya sebagai terdakwa utama adalah salah subjek hukum (error in persona). “Ini bukan lagi sekadar keliru, tapi kriminalisasi yang terang-terangan: PPTK dijadikan tumbal, sementara aktor otorisasi kontraktual justru dibiarkan bebas,” tegas kuasa hukum di persidangan. (Hanafiah)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *